Daerah terkering terancam datangnya bencana.Ladang jagung yang tandus di gurun Sahara, Afrika, 25/2/2016. (REUTERS/Siphiwe Sibeko)
VIVA.co.id – Dampak perubahan iklim bukan hanya membuat suatu daerah menjadi kian panas, tetapi bisa sebaliknya. Sebuah studi yang dirilis Potsdam Institute for Climate Impact Research atau PIK, menunjukkan perubahan iklim bisa mengubah area terkering di Afrika, Sahel, menjadi sangat basah dan berlimpah air. Sahel merupakan area zona perbatasan di Afrika antara Sahara ke utara dan daerah yang lebih subur di selatan.
Ilmuwan PIK menuturkan, perubahan dari kering menjadi basah ini bukan sebuah berkah, malah menjadi tanda kabar buruk bagi daerah tersebut.
Dikutip dari Phys, Kamis 6 Juni 2017, dalam memprediksi masa depan iklim di daerah terkering tersebut, ilmuwan menggunakan simulasi komputer. Ilmuwan menemukan, Sahel bakal semakin basah dan bisa berujung dilanda bencana banjir besar dan parah.
“Ukuran perubahan ini luar biasa. Begitu suhu mendekati ambang batas, curah hujan di daerah itu bisa bergeser dalam beberapa tahun,” jelas peneliti PIK, Anders Levermann dalam papernya di jurnal Earth System Dynamics.
Tim PIK menemukan, curah hujan di Sahel akan berubah saat suhu melebihi 1,5 sampai 2 derajat celsius di atas suhu era pra-industri.
Prediksi tim PIK dikuatkan dengan studi berbeda tentang Sahel. Sebuah studi tim peneliti pada April menunjukkan, hujan badai Sahel meningkat tiga kali lipat dibanding 1982.
Peneliti studi pada April itu mengatakan, frekuensi hujan badai yang dikenal sebagai mesoscale convective systems (MCS) tumbuh signifikan, dari 24 kali per musim hujan dari Juni sampai September, pada awal 1980-an, dan kini mencapai 81 per musim hujan.
Pada area terkering di Afrika itu, MCS memasok sekitar 90 persen curah hujan. Tapi air dari badai ini cenderung tak bisa diserap dalam tanah untuk membantu menyuburkan lahan. MSC juga membuat nutrisi tak bisa diserap lahan pertanian tersebut.
Powered by WPeMatico