Misteri “Suku Kurcaci” Sumatra: Suku Mante dan Orang Pendek

 

https://fajar.1parkgandaria.com/wp-content/uploads/2017/03/Misteri-“Suku-Kurcaci”-Sumatra-Suku-Mante-dan-Orang-Pendek.jpg

Di wilayah Aceh, suku Mante bersama suku-suku asli lainnya seperti Lanun, Sakai, Jakun, Senoi, dan Semang, merupakan etnik-etnik pembentuk Suku Aceh yang ada sekarang.

Suku-suku “tua” di Indonesia belum semuanya terungkap. Beberapa diantara mereka sebenranya adalah suku asli pulau-pulau di Indonesia. Salah satunya adalah suku “orang pendek” yang dikenal di daerah Sumatera Tengah dam Selatan seperti di Lampung, Jambi, Bengkulu, Sumbar hingga Riau.

Suku yang memiliki perawakan pendek inilah yang menjadikan julukan nama bagi mereka, yaitu “Suku Orang Pendek” atau orang pandak. Namun tak hanya mereka yang masih tersembunyi, karena masih ada suku-suku kerdil bak kurcaci atau liliput ini yang serumpun, yang tersebar di pulau Sumatera.

Orang pendek ini, salah satunya yang juga terkenal di Gayo adalah suku “Manti”, atau juga dieja “Mantir”. Di Aceh dikenal dengan nama “Suku Mante”. Semuanya berperawakan pendek.

Dari Suku-Suku Melayu Tua

Suku-suku berperawakan pendek ini termasuk Suku Proto-Melayu (Proto-Malay) atau Melayu Tua / Kuno, yang telah ada di pulau Sumatera sejak 3000 tahun sebelum masehi.

Melayu Proto atau Melayu Tua adalah istilah untuk migrasinya bangsa Melayu “gelombang” pertama, dari dua “gelombang” migrasi yang dulu diperkirakan terjadi dalam pendudukan wilayah Nusantara oleh penutur bahasa Austronesia.

Namun teori ini tidak lagi diakui penggunaannya, karena para arkeolog menyimpulkan bahwa tidak ada dasar arkeologis yang berarti yang menunjukkan adanya perbedaan antara Melayu Proto dan Melayu Deutero. Di Malaysia, istilah Proto-Melayu masih digunakan untuk sebuah suku yang bernama Orang Asli.

Sedangkan di Indonesia, suku-suku asli tersebut diperkirakan beremigrasi ke Aceh melalui Semenanjung Melayu ketika terjadi “migrasi gelombang pertama” ke Pulau Sumatera.

Mereka adalah suku yang masih hidup di dalam goa-goa di tengah-tengah hutan tropis Sumatera. Ukuran suku Proto-Melayu kuno di Sumatera ini berperawakan pendek, tingginya sekitar antara 65 – 100 cm saja.

Biasanya mereka tidak memakai baju dan menggunakan semacam celana pendek atau celana panjang selulut. Mereka mencari makanan dengan berburu menggunakan tombak, panah, dan terkadang sumpit. Tapi dari informasi terakhir, kini mereka juga menggunakan senjata semacam golok.

Yang terkadang terlihat di wilayah Aceh adalah Suku Mante. Tak ada yang tahu juga apakah mereka benar-benar memiliki bahasa verbal dan dapat berbicara antar manusia. Dari beberapa peneliti Aceh, suku Mente berbicara dengan bahasa isyarat dan juga bahasa tubuh. Tubuh mereka juga pendek dibawah satu meter saja.

Suku misterius yang sangat jarang terlihat tak hanya ada di Pulau Sumatra, tapi mereka juga tersebar di kepulauan di Nusantara, seperti di Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi, Kepulauan Nusa Tengggara, Kepulauan Maluku dan juga di Papua.

Menurut teori “dua gelombang” suku ini, yang termasuk Melayu Tua di Indonesia adalah Suku Toraja (Sulawesi Selatan), Sasak (Lombok), Dayak (Kalimantan Tengah), Batak (Sumatera Utara), Nias (pantai barat Sumatera Utara), Suku Rejang, dan lain-lain.

Suku yang tergusur setelah suku-suku baru datang ke Sumatera

Orang Gayo mengenal Suku Mante ini dengan sebutan suku atau orang “Manti”, atau juga dieja “Mantir”, adalah salah-satu etnik terawal yang disebut-sebut dalam legenda rakyat setempat yang pernah mendiami Aceh.

Di wilayah Aceh, suku Mante bersama suku-suku asli lainnya seperti Lanun, Sakai, Jakun, Senoi, dan Semang, merupakan etnik-etnik pembentuk Suku Aceh yang ada sekarang.

Suku Mante termasuk dalam rumpun bangsa Proto-Malay (Melayu Proto) atau Melayu Tua, yang awalnya menetap di wilayah pesisir di sekitar Aceh Besar, dan ada yang tinggal di pedalaman hutan juga.

Setelah pendatang mulai mendarat di pulau Sumatera dalam “migrasi gelombang kedua”, suku-suku ini mulai tergusur masuk ke hutan, tak lagi di wilayah pesisir sebagai pencari ikan.

Memang mereka tak hanya makan ikan tapi juga buah dan sayur. Tapi kini setelah tergusur oleh perqadaban, untuk mencari ikan, mereka kini mencari makanan berupa ikan itu di sungai-sungai di pegunungan.

Dalam legenda Aceh, Suku Mante dan Suku Batak disebut-sebut sebagai cikal-bakal dari Kawom Lhèë Reutōïh (suku tiga ratus), yang merupakan salah satu kelompok penduduk asli Aceh.

Peta migrasi manusia selama 160.000 tahun terakhir oleh Stephen Oppenheimer. Ini adalah hasil kerjanya yang didasarkan pada DNA mitokondria, bukti kromosom Y, arkeologi, klimatologi, dan studi fosil dan melacak rute dan waktu migrasi manusia keluar dari Afrika dan ke seluruh dunia.

Suku-Suku Kurcaci di Indonesia Yang Jarang Terlihat

Saat ini Suku Mante, walau jarang, tapi masih terlihat. Pernah beberapa kali suku-suku peedalaman ini terlihat oleh penduduk yang sedang bertani, bahkan ada yang tertabrak kendaraan ketika melintas di jalan antar kota.

Namun ketika bangun dari aspal, ia langsung masuk ke dalam hutan lagi. Sampai saat ini, keberadaan suku ini belum diteliti dengan serius. Tapi masih ada peneliti dari luar negeri yang penasaran ingin meneliti suku-suku kerdil bak kurcaci atau liliput ini, termasuk Suku Orang Pendek (Orang Pandak).

  • Misteri “Orang Pendek” Yang Mendunia

Orang pendek adalah makhluk kecil setinggi 50-75 sentimeter yang bentuknya kombinasi manusia dan orang utan. Ia tidak berekor, tapi telapak kakinya menghadap ke belakang. Beberapa penduduk mengaku pernah melihatnya, tapi makhluk itu menghilang secepat kilat.

Jeremy Holden dan Debby Martir, dua turis asal Inggris, juga mengaku pernah melihat hewan itu sekilas. Mereka kemudian mengadakan penelitian di kawasan Danau Gunung Tujuh di kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat, sejak 1995.

Danau Gunung Tujuh merupakan danau vulkanik yang terbentuk akibat kegiatan gunung berapi ratusan tahun lalu. Panjangnya sekitar 4,5 kilometer dengan lebar sekitar 3 kilometer.

WWF juga ikut mendanai penelitian untuk menyibak misteri orang pendek ini dan sejumlah kamera dipasang di hutan di kawasan ini. Tapi hingga kini hewan itu tak kunjung ditemui. Walaupun tempatnya di jantung taman nasional, tidak terlihat ada “orang pendek”.

  • Penampakan “Orang Pendek” Gegerkan Warga Lampung

Warga Lampung digegerkan dengan kabar penampakan manusia kerdil atau manusia liliput di hutan Taman Nasional Way Kambas (TNWK) di Kabupaten Lampung Timur Provinsi Lampung. Bahkan beberapa media setempat juga ramai memberitakan penampakan manusia liliput yang diyakini penunggu hutan itu.

Menurut pemberitaan itu, tak hanya sekali petugas polisi hutan (polhut) yang bertugas di TNWK yang mengaku bertemu dengan sekelompok manusia liliput atau manusia kerdil itu.

  • Dua Kali Kontak Visual di Bulan Maret 2013

“Dua kali petugas hutan itu melihat penampakan manusia liliput dalam rentang waktu yang berdekatan,” ujar Humas Balai TNWK Sukatmoko seperti dikutip dari Antara tahun 2013 silam.

“Betul memang petugas polhut kita yang saat itu bertugas melihat ada ‘manusia lain’ seperti itu. Bukan cuma satu orang petugas saja. Tapi semua tim yang waktu itu bertugas melihat mereka. Mereka melihatnya dalam keadaan sadar,” lanjut Sukatmoko.

1. Kejadian Pertama Minggu 17 Maret 2013:

Kejadian pertama pada hari Minggu (17/3/2013) silam. Di saat satu regu patroli di resor Rawa Bunder, Way Kanan, menemukan hal mengejutkan pada Ahad, 17 Maret 2013 lalu. Di petang hari itu, di saat tubuh mulai lelah, tujuh polisi hutan terperangah: ada sekelompok makhluk mirip manusia namun ukurannya lebih kecil melintas di rawa.

Mereka sontak terkesiap. Para polisi hutan dan kelompok “orang pendek” itu berhadap-hadapan dengan jarak sekitar 30 meter. Kaget, dan tak menyangka bersua makhluk aneh, para polisi hutan itu terpacak diam. Hening. Sekejap kemudian, gerombolan “orang pendek” itu berlari masuk ke dalam rimbun hutan. Hilang.

Barulah para polisi hutan sadar, seharusnya mereka mengabadikan gambar “orang-orang pendek” itu. Mereka hanya bisa mengingat “orang-orang pendek” itu bertelanjang, sebagian memegang kayu berbentuk tombak, dan bahkan ada yang menggendong bayi. Diduga saat itu, mereka sedang mencari ikan atau mencari air minum.

2. Kejadian Kedua Rabu 20 Merat 2013:

Penasaran dengan apa yang mereka lihat, tiga hari kemudian, grup itu kembali berpatroli di tempat sama. Tim sengaja memilih waktu persis saat mereka bertemu makhluk aneh, menjelang malam. Dan betul, “orang-orang pendek” yang dihitung lebih dari sepuluh orang itu terlihat lagi. “Suasana dan lokasinya sama saat petugas patroli melihat yang pertama dan yang kedua,” kata Sukatmoko. Namun, lagi-lagi, polisi kalah cepat memotret mereka.

Dari penampakan kedua ini, tim memastikan, penampilan “orang-orang pendek” itu seperti manusia purba. “Mereka tidak memakai baju, berambut gimbal panjang dan memegang tombak kayu panjang. Tidak bisa juga dibedakan yang masih dewasa atau anak-anak, namun petugas kami melihat ada di antaranya seperti yang perempuan sedang menggendong bayi,” Sukatmoko menambahkan.

Penampakan manusia aneh yang kedua kembali terjadi saat rombongan petugas polhut TNWK berpatroli di lokasi yang hampir sama pada pertemuan pertama, pada Rabu (20/3/2013) lalu.

“Teman-teman yang patroli kembali melihat. Tapi waktunya sangat singkat. Sekali lagi rombongan manusia aneh yang dipergoki itu bergegas lari menyelinap ke dalam hutan,” ujar dia lagi.

Hanya saja, lagi-lagi keberadaan mereka yang saat itu terdeteksi di dalam hutan Way Kambas tak berhasil diabadikan atau direkam.

Para petugas setempat juga tidak bisa memastikan apakah rombongan yang mereka temui tersebut merupakan manusia kerdil seperti cerita misteri adanya manusia kerdil di dalam hutan di Kerinci maupun Bone yang dikabarkan sebelumnya.

Intip Suku Misterius: Pasang Kamera Pengintai

Hari itu juga, polisi hutan Taman Nasional memasang 15 kamera pengintai bersensor inframerah di sekitar lokasi itu. Kamera ini biasa digunakan untuk menangkap gambar aktifitas satwa liar, dan bisa menangkap objek bergerak yang melewatinya baik siang maupun malam.

“Nanti kalau sudah ada bukti secara visual kami baru bisa bicara. Karena selama ini kami hanya mengandalkan bukti penglihatan mata petugas, maka kami saja belum berani melaporkannya ke kementerian kehutanan secara resmi,” kata Sukatmoko.

Sementara itu Kepala Balai Taman Nasional Way Kambas (TNWK), Sri Andayani menegaskan setelah pihaknya melakukan pemantauan ulang dengan kamera pengawas (camera trap), menurut Sri, tidak ditemukan manusia kerdil atau pendek. Tetapi yang tampak hanya manusia berambut gimbal seperti Suku Anak Dalam yang hanya mengenakan penutup badan seadanya.

“Kejadian itu bermula dari keluhan petugas tim patroli di TNWK yang mengaku kehilangan bekal bawaannya saat berpatroli di dalam hutan itu,” terang Sri.

“Kami sedang menelusuri keberadaan sejumlah orang tersebut, apa motifnya sampai ada di dalam hutan ini, karena kami khawatir keberadaannya memang diutus oleh oknum tertentu, dan kami khawatir dapat mengganggu satwa liar langka dan dilindungi yang hidup dalam kawasan hutan ini,” tandasnya.

Hampir setiap hari para polisi hutan di Taman Nasional Way Kambas, Lampung, berjalan kaki menyusuri hutan perawan di wilayah seluas 125 ribu hektar. Itu tugas rutin, berpatroli mengawasi tiga area besar taman konservasi, Way Kanan, Way Bungur, dan Kuala Penet. Setiap area itu dibagi lagi menjadi empat resor.

Mereka menjaga taman nasional dari pembalakan liar, atau perburuan liar. Hutan di Way Kambas adalah tempat konservasi badak, harimau sumatera, dan juga gajah. Di sana bahkan ada sekolah gajah pertama di Indonesia.

Sekali patroli, para polisi hutan itu bisa berjalan kaki selama dua pekan, atau bahkan sebulan. “Mereka membawa makanan, dan juga tenda”, ujar juru bicara Taman Nasional Way Kambas, Sukatmoko.

Laporan Penampakan Orang Pendek Sebelumnya

Ini sebetulnya bukan kali pertama “orang-orang pendek” itu terlihat. Tahun 1995, satu regu pendaki di Gunung Singgalang pernah bersua dengan makhluk serupa yang dilihat para polisi hutan di Way Kambas.

Denni, seorang anggota pendaki itu, menghubungi suatu media lokal setelah berita temuan “orang-orang pendek” itu dimuat di media tersebut. “Saya pernah melihat ‘orang pendek’”, ujarnya.

Dia berkisah, pada suatu pagi, dia mendaki gunung setinggi 2.887 meter itu. Sekitar pinggang gunung, di sebuah kawasan yang agak datar, tiba-tiba Denni dan temannya kaget campur takjub melihat sepasang makhluk seperti monyet tapi berjalan dengan dua kaki.

Tangannya mengayun khas seperti manusia. “Bulunya berwarna emas, berjalan tegak, berpegangan tangan,” kata Denni. Denni dan temannya berhenti berjalan, lalu mengamati.

Tinggi makhluk tak berekor itu sepinggangnya atau kira-kira 1 meter. Sepasang makhluk itu berjalan kira-kira 30 meter di dekat mereka berdua. Semua badannya berbulu, kecuali mukanya. Bulu di kepalanya sedikit lebih panjang. “Mukanya agak rata. Meski perawakan seperti manusia, namun bulu tipis di sekujur badannya membuatnya tampak lebih seperti monyet daripada manusia,” kata Denni.

Karena tak pernah melihat makhluk macam itu sebelumnya, Denni yang menenteng kamera saku pun bergerak cepat hendak memotret. Namun seperti tahu mau dipotret, kedua makhluk itu bergerak lebih cepat, menghilang di balik rimbun pepohonan. Dia gagal mengambil gambar dari temuan langka itu.

Aktor suku kurcaci dalam sebuah casting pembuatan film. (pic Dario Sulawesi)

Kisah Deborah Martyr dan “Orang Pendek” Kerinci

Deborah Martyr, perempuan peneliti asal Inggris yang beberapa kali menyaksikan ”orang pendek” di Taman Nasional Kerinci Seblat, meragukan makhluk yang dilihat polisi hutan di Way Kambas adalah “orang pendek” yang sama.

Debbie, begitu panggilan perempuan itu, menyatakan “orang-orang pendek” yang dilihatnya di sejumlah hutan di Jambi, Bengkulu dan Sumatera Barat umumnya soliter, tidak bergerombol atau berkoloni, lebih dari tiga orang.

“Saat melihat ‘orang pendek’, dia hanya sendiri. Tidak pernah saya melihat mereka berkelompok hingga belasan,” kata Pemimpin Tim Fauna & Flora International’s Tiger Protection & Conservation Units di Sumatera itu.  

Perkenalan Debbie dengan “orang pendek” dimulai dari tahun 1989, ketika dia saat itu bekerja sebagai jurnalis sebuah media di Inggris, dan berlibur ke kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat yang membentang di empat provinsi yakni Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu dan Sumatera Selatan.

Saat itu, Debbie mendengar kisah Orang Pendek. Dia pun penasaran. Namun baru tahun 1994, Debbie bersama Jeremy Holden dari Fauna dan Flora International-IP dan Achmad Yanuar dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia menggelar “Project Orang Pendek“.

“Awalnya saya juga beranggapan sama, itu hanya mitos. Namun setelah melihat, saya yakin itu bukan mitos,” katanya saat diwawancara jurnalis suatu media online, di kediamannya di Sungai Penuh, Jambi, Rabu 27 Maret 2013.

Tahun 1994 Debbie pertama kali melihat “orang pendek” di kawasan Gunung Tujuh dan kemudian di Gunung Kerinci, masih di Taman Nasional Kerinci Seblat. Tahun 1995, saat memasuki bagian Sumatera Barat dari taman nasional itu, di Solok Selatan, kembali Debbie melihat makhluk soliter ini. Tahun itu juga dia kembali menyaksikan makhluk itu di hutan lindung di perbatasan Sumatera Barat dengan Sumatera Utara.

Tahun 1996, adalah terakhir kalinya Debbie melihatnya lagi di sebuah hutan produksi di Mukomuko, Bengkulu, dan di Tapan, Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Namun tak satu pun yang berhasil dipotretnya. Padahal mereka sudah memakai kamera pengintai paling canggih yang biasa memotret harimau sumatera. Alhasil, tim penelitian ini lebih banyak mengandalkan penelitian berdasarkan pandangan mata saksi, termasuk mereka sendiri.

“Badannya agak besar, tinggi sekitar 130 cm. Warna kulitnya madu tua, bulu di kepala sedikit tebal. Perawakan wajahnya hampir sama dengan orangutan tapi tidak mirip dengan manusia,” kata Debbie menceritakan ciri-cirinya, mirip seperti yang dilihat Denni di Gunung Singgalang.

Yanuar yang meraih gelar master dari Universitas Cambridge, Inggris, atas penelitian primata di Kerinci ini juga mengalami hal yang sama, hanya bisa melihat namun tak bisa mengabadikan gambar “orang pendek” ini. Bahkan Yanuar lebih dulu melihat “orang pendek” ini daripada Debbie.

Kali pertama, seperti diungkapkannya dalam sebuah laporan terkait Project Orang Pendek, adalah di Provinsi Lampung di tahun 1993. “Jelas sekali berjalan dengan dua kaki, memperlihatkan ayunan tangannya,” kata Yanuar. “Warna (bulu)nya coklat agak keemasan.”

Meski tak mendapatkan gambar meyakinkan, Project Orang Pendek ini berhasil mengumpulkan spesimen rambut, feses, jejak telapak kakinya, serta bentuk pemukimannya. Rambutnya kemudian ada yang dikirim ke Inggris untuk diekstrak DNA-nya. Jejak kaki juga dicetak, memperlihatkan lekuk seperti telapak kaki manusia, namun lebih pendek, lebih lebar dan jempolnya agak besar dan mencelat.

“Jempol menonjol keluar dan beban sepertinya dibagi rata untuk menghasilkan kombinasi kera besar dan manusia. Saya mencatat beberapa persamaan, berdasarkan bentuk kaki,” Yanuar menulis di laporan riset.

Satu kali, dalam riset lapangan, tim sempat mendapatkan kotoran (feses) segar “orang pendek”. Baunya seperti feses manusia. Analisis atas feses ini, disimpulkan orang pendek itu adalah omnivora meski lebih banyak memakan sayur, buah-buahan dan akar-akaran. Orang pendek juga memangsa serangga seperti ulat pohon dan larva. “Tapi sepertinya dia tidak makan cabai,” kata Debbie lalu tertawa.

Menurut Saksimata Orang Lokal

Kemudian tim juga mengumpulkan hasil wawancara dengan penduduk yang pernah bertemu makhluk itu. Narasumber ini macam-macam pekerjaannya, 57 persen petani, 18 persen pemburu atau pengumpul gaharu, 14 persen pegawai pemerintah, 4 persen ahli kehutanan dan lainnya sekitar 8 persen.

Ada variasi penampakan “orang pendek” di mata narasumber riset. Ada yang melihatnya berjalan dengan empat kaki, tapi umumnya dua kaki. Tapi semuanya konsisten melihat makhluk ini berjalan di atas tanah, tak ada yang melayang dari pohon ke pohon seperti dilakukan kera, beruk atau orangutan.

Sementara warna bulu di badannya, umumnya berwarna coklat meski ada sedikit yang melihatnya kemerahan atau keemasan. Bulu di kepala lebih panjang dan tebal, sementara di bagian dada dan perut lebih tipis sehingga memperlihatkan warna kulit mereka.

Umumnya mereka ditemui sedang berjalan, kemudian makan, dan sedikit yang bertemu sedang berbaring. Sementara tinggi badan, ada yang melihat di bawah 1 meter, namun ada yang sampai 130 sentimeter.  

Narasumber ini tersebar di sepanjang Bukit Barisan dari utara Sumatera Barat sampai ke selatan Bengkulu, baik dari dataran rendah sampai pegunungan di atas 1.000 meter di atas permukaan laut. Penamaannya pun beragam.

Di Sumatera Barat, “orang pendek” itu juga dikenal sebagai Si Bigau. Di Jambi sendiri, selain disebut Uhang Pandak (dialek lain dari ‘Orang Pendek’), juga disebut Antu Pandak dan Si Gugu.

Seorang warga Sungai Penuh, Kerinci, Iskandar Zakaria, adalah salah satu warga yang percaya dengan keberadaan Orang Pendek. Di tahun 1990-an akhir, Iskandar yang kini berusia 71 tahun melihat betul Orang Pendek. Saat itu, Iskandar memang sengaja menjelajah hutan di kaki Kerinci dengan niat mencari makhluk legenda itu.

Di hari ketiga pencariannya, menjelang Subuh, Iskandar yang saat itu mau buang air besar di pinggir sungai di sebuah perkebunan melihat yang dicari-carinya. Orang Pendek terlihat turun dari bukit menuju sungai. “Saya terkejut dan hanya bisa diam saja. Karena, Uhang Pandak itu berjalan tepat di hadapan saya. Pada saat itu jaraknya hanya sekitar dua atau tiga meter saja dari saya,” katanya.

“Pada saat melintas di depan saya, Uhang Pandak ini melirik saya. Kejadian itu cepat sekali. Karena, setelah melintas di hadapan saya, Uhang Pandak hilang ke dalam hutan lagi,” katanya.

Dari pengamatan itulah, Iskandar menyatakan, wajah Orang Pendek sama sekali tidak menyerupai manusia. Sekujur tubuh mahluk dengan ketinggian sekitar 80 sentimeter ini ditutupi bulu seperti orangutan. Dan satu hal lagi, dia berjalan dengan telapak kaki ke depan, bukan terbalik seperti selama ini menjadi mitos di masyarakat

“Tempat tinggal Uhang Pandak ini semak rimbun. Makanannya kulit kayu yang ada di hutan. Karena, dari yang saya temui di sekitar tempat tinggal Uhang Pandak ini banyak bekas kupasan kulit kayu,” katanya.

Dari Catatan Dalam Buku Kuno Hingga Jadi Terkenal

William Marsden, yang menghabiskan masa mudanya di Sumatera antara tahun 1754 sampai 1836, sudah menyinggung soal Si Gugu ini dalam bukunya berjudul “History of Sumatra”.

Dalam buku edisi tahun 1811, Marsden yang juga dari Inggris menceritakan bahwa di antara Palembang dan Jambi, ada dua suku yang hidup di hutan yakni suku Kubu dan Gugu. Gugu, dijelaskan Marsden, kecil dan berbulu di sekujur tubuhnya.

Legenda Orang pendek mulai terdengar sejak awal abad 20. Pada tanggal 21 Agustus 1915, Edward Jacobson menemukan sekumpulan jejak misterius di tepi danau Bento, di tenggara gunung Kerinci, Propinsi Jambi. Pemandunya yang bernama Mat Getoep mengatakan bahwa jejak sepanjang 5 inci tersebut adalah milik Orang Pendek.

Pada Desember 1917, seorang manajer perkebunan bernama Oostingh berjumpa dengan Orang Pendek di sebuah hutan dekat Bukit Kaba. Ketika makhluk itu melihatnya, ia bangkit berdiri lalu dengan tenang berjalan beberapa meter dan kemudian naik ke pohon dan menghilang.

Bukan hanya di Kerinci, penampakan makhluk ini juga sempat dilaporkan di wilayah Palembang. Seorang Belanda yang bernama Van Herwaarden menceritakan bahwa ia melihat Orang Pendek di sebuah pohon di utara Palembang pada Oktober 1923. Pertama, Herwaarden bermaksud menembaknya, namun kemudian ia melihat makhluk itu sangat mirip dengan manusia sehingga ia memutuskan untuk membiarkannya. Pengalamannya dipublikasikan di majalah Tropical Nature no.13 yang terbit tahun 1924.

Pada tahun 1924 juga, museum nasional Bogor menerima cetakan jejak yang dipercaya sebagai milik orang pendek, namun akhirnya museum berhasil mengidentifikasi bahwa jejak tersebut adalah milik beruang Melayu yang diketahui kadang memang berdiri dengan dua kaki. Para ilmuwan yang skeptis kemudian menulis keraguan mereka akan keberadaan Orang pendek.

Beberapa tahun kemudian, Museum kembali menerima bangkai yang dipercaya sebagai Orang Pendek. Penemuan ini sempat menjadi headline selama 2 hari karena adanya hadiah yang ditawarkan untuk penemuan bangkai Orang Pendek. Namun kemudian ketahuan ternyata bangkai tersebut adalah milik seekor kera yang dimodifikasi oleh penduduk lokal yang ingin mendapat hadiah. Minat sains terhadap Orang pendek mulai padam sejak saat itu.

Kembali Diselidiki Oleh Tim Internasional

Namun makhluk ini kembali mulai mendapat status internasionalnya pada tahun 1989 ketika seorang penulis Inggris bernama Deborah Martyr menemukan jejak-jejak Orang Pendek di barat daya Sumatera. Jejak-jejak tersebut setara dengan jejak anak kecil berusia 7 tahun.

Setelah 5 tahun meneliti, Martyr akhirnya melihat sendiri Orang Pendek di wilayah gunung Kerinci pada 30 September 1994. Makhluk itu terlihat sedang berjalan dengan tenang dengan dua kakinya. Setelah jarak beberapa puluh meter, makhluk itu berhenti sebentar, menoleh ke Martyr, lalu menghilang ke dalam hutan. Sejak penampakan itu, Martyr masih menjumpai makhluk itu dua kali.

Luar biasanya, walaupun Orang Pendek umumnya berhabitat di Kerinci, propinsi jambi, namun penampakan makhluk ini terjadi di hampir seluruh Sumatera.

Pada tahun 1995 ketika gempa besar melanda Liwa, Lampung, beberapa penduduk lokal menyampaikan kepada para pekerja asing bahwa mereka menyaksikan Orang Pendek keluar dari hutan, mungkin takut akibat gempa besar tersebut.

Orang Pendek: Primata Kera, Hybrid atau Menyerupai Manusia?

“Mereka tergolong primata, bukan manusia,” kata Debbie yakin, saat ditanya soal klasifikasi “Orang Pendek” ini. Orang Pendek, kata Debbie, adalah primata yang belum tercatat dalam ilmu pengetahuan.

“Asumsi saya dia lebih dekat ke Siamang. Mereka tidak berkelompok tapi tumbuh dalam keluarga kecil, satu ibu dan anak-anak tanpa pejantan.” Karena asumsi inilah Debbie meragukan gerombolan yang di Way Kambas adalah “Orang Pendek” yang sama dengan yang ditelitinya bertahun-tahun.

  • Makhluk Campuran (Hybrid)

David Chivers, ahli primata dari Universitas Cambridge, telah menganalisis jejak telapak kaki yang dikumpulkan Debbie dan kawan-kawan. “Sangat tak biasa, karena mereka merupakan campuran karakter dari semua jenis kera dan manusia,” kata Chivers seperti dilansir majalah Edge Science edisi #7, April-Juni 2011.

“Mereka punya jari yang lebih pendek, hampir seperti manusia.” Antropolog biologis dari Universitas Idaho, Jeff Meldrum, juga melihat jejak kaki itu menandakan bipedalisme atau berjalan dengan dua kaki.

Sementara analisis atas DNA rambut, ahli hewan Hans Bruner dari Universitas Deakin, Australia, menyatakan rambut itu milik primata tak dikenal. Tahun 2010, jebolan genetika Universitas Oxford Tom Gilbert melakukan tes DNA sendiri atas rambut tersebut.

Peneliti di Centre for GeoGenetics, bagian dari Natural History Museum of Denmark itu menyatakan DNA makhluk itu adalah manusia, atau setidaknya berhubungan dekat dengan manusia. Jika pendapat ini diterima, “orang pendek” bisa berdiri sejajar dengan Homo neanderthal, Homo floresiensis dan Homo sapiens alias masuk jajaran “manusia”.

Namun, belasan ‘manusia hutan’ yang ditemui bergerombol di TNWK tersebut berciri layaknya gambaran manusia purba dalam film kartun Mr Flintstones, yaitu tidak berbaju, berambut gondrong, serta memegang tombak kayu.

“Ya seperti itu kira-kira gambaran mereka. Mereka memakai celana atau tidak, teman-teman polhut juga tidak jelas melihatnya. Yang jelas mereka tidak pakai baju. Kita juga tidak tahu mereka sedang apa atau mau apa. Apa mau berburu atau bagaimana, kita tidak bisa simpulkan apa-apa,” kata dia lagi.

Sukatmoko mengakui, pihak TNWK hingga kini belum berani mengambil sebuah kesimpulan terkait pertemuan polhut dengan ‘manusia hutan’ beberapa waktu lalu itu.

Apalagi kemudian muncul sebutan mereka sebagai manusia kerdil, kata dia, mengingat jarak pandang saat pertemuan relatif cukup jauh, ditambah cahaya alam yang pada waktu itu dalam perubahan dari sore menjelang malam hari.

Versi Yang Tak Percaya dan Skeptik

Lembaga riset genetika di Indonesia, Eijkman Institute for Molecular Biology sendiri skeptis dengan status manusia atas “orang pendek” ini. Deputi Direktur Lembaga Eijkman Prof Herawati Sudoyo menyatakan, pertanyaan soal genetika “orang pendek” belum bisa dijawab karena tak ada gambar yang jadi bukti keberadaan mereka. Jika keberadaannya sudah pasti, barulah kemudian bisa lanjut kepada pengambilan sampel DNA, kata Herawati.

  • Dugaan Kemampuan Mendeteksi Benda Listrik

Soal gambar dan habitat “orang pendek” inilah yang menjadi pekerjaan bertahun-tahun sejumlah pemerhati flora dan fauna. Fauna Flora International (FFI) yang melakukan monitoring harimau sumatera di Taman Nasional Kerinci Seblat belum pernah mendapat gambar “orang pendek” dari seratusan kamera trap yang terpasang di enam lokasi sejak tahun 2004.

“Jika memang ada, mungkin sudah tertangkap kamera pengintai kami,” ujar Yoan Dinata, Manager FFI areal Sumatera Barat.

“’Orang pendek’ itu sepertinya punya kemampuan mendeteksi benda listrik,” kata Suwandi Ahmad, yang pernah membantu dokumentasi tim Debbie saat mengumpulkan data “orang pendek”. “Indra pendengaran dan penciuman mereka sepertinya tajam sekali,” kata Suwandi.

Dia lalu menceritakan sebuah kisah unik seorang fotografer alam bebas yang sudah delapan bulan mengikuti Debbie, berusaha memotret “orang pendek”. “Setelah delapan bulan, pada suatu saat, baterai kameranya habis, dia lalu mengganti baterenya,” kata Suwandi.

“Saat itulah, beberapa “orang pendek” datang mengerubungi fotografer itu. Dia gemetaran saat mengisi baterai, namun ketika sudah terisi, ‘orang pendek’nya pergi lagi. Seminggu lamanya setelah itu si fotografer ngambek,” kata Wandi tertawa.

Dosen Biologi Universitas Andalas, Dr. Wilson Novarino, salah satu ilmuwan yang yakin akan keberadaan “orang pendek”, menyebut insting makhluk menghindari dari manusia itu mungkin bagian dari kunci survivalnya. “Karena kondisinya yang sangat sensitif dan tidak mau bertemu manusia, bisa jadi populasinya semakin mengerucut,” kata Wilson.

Orang Pendek, kata Wilson, sangat besar kemungkinan salah satu dari banyak hewan yang masih misterius. Hingga kini baru 1,9 juta spesies telah teridentifikasi. Dalam studi yang dipublikasikan Selasa, 23 Agustus 2011 lalu di jurnal PLoS Biology, ilmuwan menghitung ada nyaris 8,8 juta spesies di Bumi. Dari jumlah itu, 6,5 juta berada di daratan dan 2,2 juta di lautan. Kerajaan hewan mendominasi dengan 7,8 juta spesies, fungi (jamur) sekitar 611.000 dan tanaman sekitar 300.000 spesies.

Jika benar ada 8,8 juta spesies, “Itu angka yang brutal,” kata Direktur Eksekutif Ensiklopedi Kehidupan, Erick Mata. “Kita bisa menghabiskan waktu 400 sampai 500 tahun untuk mendokumentasikan spesies yang benar-benar hidup di planet kita,” katanya. Bisa jadi, “orang pendek” adalah salah satu makhluk yang masih luput terdata itu. (antara/vivanews/berbagai sumber)

Pustaka:


VIDEO:

The Humanoid Ape Creature known as the Orang Pendek british documentary:
| PART-1 | PART-2 | PART-3 |

Suku Mante Terekam Kamera

 Fauna X: Orang Pendek [HQ/Deutsch]

EXTINCT? – Episode 2 – Indonesia (orang pendek)


Artikel Lainnya:

Kisah Heboh Alan Lamers, Saksi Penculikan Misterius Alien Atau Jin Di Sulawesi

Suku Cia-cia Indonesia, Sejak Dulu Memakai Huruf Korea Hangeul

Misteri Ras Manusia Berekor dan Suku Kanibal di Borneo

Tak Ada Yang Berani Masuk: “Sentinel” Pulau Paling Misterius Yang Dihuni Suku Buas!

Misteri Suku Lingon: Bermata Biru di Belantara Hutan Indonesia

Misteri Tanah Punt: Ada Hubungan Firaun dengan Suku di Bengkulu?

Wow! Manusia Purba Misterius Ini Hidup Di Sulawesi Sejak Ratusan Ribu Tahun Lalu

Ditemukan Fosil Misterius Manusia Purba 700.000 Tahun Lebih Tua Dari Hobbit!

Hobbit Adalah Keturunan Manusia Dari Dimensi Keluarga Yang Berbeda?

Wow! Manusia Purba Misterius Ini Hidup Di Sulawesi Sejak Ratusan Ribu Tahun Lalu

Riset Genetik Beri Petunjuk Adanya Spesies Manusia Misterius


http://wp.me/p1jIGd-7U0

((( IndoCropCircles.com | fb.com/IndoCropCirclesOfficial )))

Source link

Sang Pembelajar

Related Posts

Tinggalkan Balasan