Close

Kisah Pembantaian Di Aceh Oleh Belanda Tahun 1904

[ad_1]

Acehnese Massacre by The Dutch 1904

Tanggal 8 Februari 1904, Belanda memulai ekspedisi militernya ke Gayo dan Alas di Aceh. Lalu terjadilah genosida dan menjadi fase terakhir dari rangkaian panjang Perang Aceh pada Belanda. Namun hal itu tak membuat rakyat Aceh berhenti berjuang melawan Belanda.

Pelabuhan Ulee Lheue di Banda Aceh siang itu mendadak riuh. Tiga kapal Belanda berukuran besar merapat membawa ratusan orang yang diangkut dari tanah seberang. Tidak kurang dari 10 orang perwira, 13 bintara, serta ahli geologi dan tenaga medis berkebangsaan Eropa turut dalam rombongan tersebut.

Itu belum termasuk 473 orang mandor, puluhan kuli paksa, penunjuk jalan, serta 208 anggota korps Marechaussee te Voet, atau bisa disebut Marsose, yaitu satuan militer sebagai tanggapan taktis terhadap perlawanan gerilya di Aceh.

Korps Marsose bernaung di bawah Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL) alias Tentara Kerajaan Hindia Belanda, tapi korps ini tidak ada ikatan dengan Koninklijke Marechaussee yang ada di Belanda.

https://fajar.1parkgandaria.com/wp-content/uploads/2018/01/1517226575_701_kisah-pembantaian-di-aceh-oleh-belanda-tahun-1904.jpg

Korps Marsose / Marechaussee te voet di Hindia Belanda (1892) (wikimedia, Troppen Museum)

Kendati berlabel penjajah, sebagian besar anggota Marsose tersebut justru berasal dari orang lokal sendiri.

Mereka adalah para pemuda yang dipaksa ikut dan diambil dari pulau Jawa dan pulau-pulau lainnya bahkan hingga kepulauan Maluku untuk dimanfaatkan dan dijadikan sebagai prajurit kolonial, termasuk dalam menjalankan misi penting di Tanah Rencong.

Kita semua pasti tahu, salah satu misi Belanda adalah melakukan politik “pecah-belah” terhadap wilayah yang tadinya bersatu.

Belanda memulai operasi militer pada kali ini untuk mengakhiri Perang Aceh-Belanda, yang telah berlangsung selama puluhan tahun (1873–1904). Perang Aceh adalah perang Kesultanan Aceh melawan Belanda dimulai pada 1873 hingga 1904.

Armada kapal-kalap laut Belanda merapat di pantai Aceh.

Pada tanggal 26 Maret 1873 Belanda menyatakan perang kepada Aceh, dan mulai melepaskan tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Citadel van Antwerpen.

Pada 5 April 1873, Belanda mendarat di Pante Ceureumen di bawah pimpinan Johan Harmen Rudolf Köhler, dan langsung bisa menguasai Masjid Raya Baiturrahman. Köhler saat itu membawa 3.198 tentara. Sebanyak 168 di antaranya para perwira.

https://fajar.1parkgandaria.com/wp-content/uploads/2018/01/1517226575_411_kisah-pembantaian-di-aceh-oleh-belanda-tahun-1904.jpg

Pahlawan Nasional Indonesia asal Aceh, Tjoet Nya’ Dhien (1848, Lampadang – November 6, 1908, Sumedang).

Kesultanan Aceh menyerah pada Januari 1904, tapi perlawanan rakyat Aceh dengan perang gerilya terus berlanjut dipimpin oleh Cut Nyak Dien yang sebelumnya dipimpin oleh Teuku Umar, suaminya.

Hari itu, 8 Februari 1904, Belanda memulai operasi militer ini untuk mengakhiri Perang Aceh-Belanda.

Misi ini sekaligus untuk menangkap Cut Nyak Dien yang masih melakukan perlawanan dengan cara bergerilya.

Yohannes Benedictus van Heutsz selaku Gubernur Jenderal Hindia Belanda kala itu memang sangat berambisi menguasai seluruh wilayah Aceh.

Maklum, van Heutsz pernah terlibat langsung dalam Perang Aceh, bahkan sempat menjadi gubernur di wilayah tersebut, tetapi selalu gagal.

Misi Penaklukan Total di Aceh Tahun 1904

Dari Banda Aceh, rombongan pimpinan van Daalen bertolak ke Lhokseumawe yang merupakan tujuan akhir pelayaran mereka. Berikutnya, perjalanan dilanjutkan dengan menumpang trem menuju Bireuen yang ditempuh dalam tempo sekitar 4 jam.

Dari Bireuen, ratusan orang itu harus berjalan kaki. Jalur satu-satunya untuk mencapai Gayo memang hanya jalan darat dengan medan pegunungan yang sulit di pedalaman Aceh itu. Long march menuju Gayo pun dijalani dengan memakan waktu hingga 163 hari (Ibrahim Alfian, Wajah Aceh dalam Lintasan Sejarah, 1999:229).

Tampak sebuah patroli militer Belanda yang ditugaskan untuk Perang Aceh sedang istirahat ditengah hutan (pict: H.M. Neeb)

Ekspedisi ke Tanah Gayo dan Alas itu sendiri bermula dari laporan hasil riset Snouck Hurgronje bertajuk “Het Gajolan en Zijn Bewoners” atau “Tanah Gayo dan Penduduknya” kepada van Heutsz.

Sang Gubernur Jenderal pun segera merespons dengan menunjuk Gotfried Coenraad Ernst van Daalen sebagai pemimpin operasi militer ke Aceh. Dipilihnya van Daalen tentunya bukan tanpa alasan. Keluarga van Daalen sudah sangat berpengalaman di Aceh.

Battle of Samalanga (1878) atau Perang Samalanga, atau disebut juga sebagai Perang Aceh Pertama (1873-1874).

Ayah Gotfried, van Daalen Sr., pernah menjabat kapten dalam Perang Aceh periode kedua (1874-1880), tapi gagal menyelesaikan misinya. Van Daalen muda pun sangat antusias menerima penunjukan itu sekaligus untuk menuntaskan tugas bapaknya.

Belakangan, Hurgronje justru muak dengan aksi van Daalen yang dinilainya melampaui batas dalam ekspedisi ke Aceh pada 1904 itu. Namun tidak demikian dengan van Heutsz.

Ia bahkan menyebut van Daalen sebagai sosok yang “terkadang kasar dan keras, sangat ketat dan semena-mena dalam aksinya, tapi juga dapat melindungi dan memaafkan.”

Setelah melalui berbagai rintangan, mulai dari kondisi medan yang sulit, kian menipisnya cadangan logistik, hingga serangan-serangan mendadak yang dilancarkan oleh kaum gerilyawan, rombongan van Daalen akhirnya sampai juga di tanah Gayo. Misi penaklukan total pun dimulai.

Van Heutsz sedang memperhatikan pasukannya dalam penyerangan ke Batee Iliek pada Perang Aceh. (pict: Troppen Museum)

Sesaat setelah tiba, van Daalen langsung mengirimkan surat kepada raja-raja Gayo agar mereka segera menghadap. Van Daalen menghendaki para pemimpin rakyat itu menandatangani “perjanjian takluk” seperti yang telah dilakukan oleh banyak pemimpin rakyat di wilayah Aceh lainnya (Dien Madjid, Catatan Pinggir Sejarah Aceh, 2014:280).

Respons para pemimpin Gayo ternyata di luar dugaan. Tidak ada satu pun dari mereka yang memenuhi undangan itu. Van Daalen yang murka kemudian menggerakkan pasukan untuk menyisir satu demi satu perkampungan di wilayah tersebut.

Pasukan Belanda menyisir semua daerah itu agar raja-raja dan pemuka masyarakat dipaksa datang. Jika mereka tetap tetap enggan untuk datang, maka moncong senjata yang akan berbicara, alias diancam untk ditembak.

Panglima besar angkatan perang Belanda, Jenderal J.H.R. Kohler tewas ditembak oleh penembak jitu Aceh pada tahun 1873

Aksi Pembantaian Massal

Orang-orang Gayo punya ciri khas dalam berperang atau mempertahankan diri. Rakyat Gayo bersikukuh, tidak sudi takluk dan memilih terus melawan. Semua penghuni desa tanpa kecuali berkumpul di benteng-benteng dari bambu dan semak berduri untuk menahan gempuran musuh.

Sebagian besar dari mereka memakai pakaian serba putih untuk menandakan bahwa inilah Perang Suci (The Holy War) melawan kaum kafir. Meskipun dengan senjata seadanya ditambah munajat kepada Sang Pencipta, rakyat Gayo melawan dengan sangat berani dan gagah perkasa sampai titik darah penghabisan.

Mereka berpikir, kapan lagi mendapat kesempatan terbaik ini, lebih baik mati di jalan Allah dan menjadi syuhada, ketimbang menjadi tawanan. Van Daalen sendiri tidak menerapkan taktik khusus, ia hanya memerintahkan agar seluruh musuh dibasmi tanpa ampun.

Dalam suatu penaklukan di salah satu desa di Gayo, ratusan warga dibantai, korban tewas terdiri dari 313 pria, 189 wanita, dan 59 anak-anak. Itu baru korban di satu desa, belum di desa-desa Gayo lainnya(Deli Courant  -1940).

Pembantaian rakyat Aceh oleh Belanda di desa terpencil di Kuto Reh, Aceh, pada tahun 1904.

Tak hanya di Gayo, aksi genosida ala Belanda terus berlanjut ke wilayah Suku Alas di Aceh Tenggara. Salah satu insiden paling keji terjadi pada 14 Juni 1904 di Kuto Reh. Menurut Asnawi Ali, mantan tokoh Gerakan Aceh Merdeka (GAM), ada 2.922 orang tewas dalam tragedi itu, yakni 1.773 laki-laki dan 1.149 perempuan, termasuk anak-anak dan orang tua.

Fakta yang lebih mengejutkan sebelumnya justru telah diungkap oleh ajudan van Daalen, J.C.J. Kempees. Dalam laporan berjudul “De tocht van Overste van Daalen door de Gajo, Alas-en Bataklanden” (1904), Kempees menyebut bahwa ekspedisi militer Belanda di pedalaman Aceh itu setidaknya memakan korban nyawa hingga 4.000 orang.

Masih dalam laporannya itu, Kempees juga menyertakan foto-foto yang menjadi bukti bahwa telah terjadi pembantaian besar-besaran terhadap orang-orang dari Suku Gayo maupun Alas.

Setiap kali usai penyerbuan, van Daalen memang memerintahkan ajudannya untuk memotret tumpukan-tumpukan mayat dengan para Marsose yang berpose di sekitarnya (Dien Madjid, 2014: 282).

Pembantaian rakyat Aceh oleh Belanda di desa terpencil di Aceh pada tahun 1904.

Ekspedisi militer Belanda ke pedalaman Aceh tak berhenti hanya disitu, ekspedisi mereka berlanjut hingga ke Tanah Karo di Sumatera Utara. Hal itu boleh dibilang menjadi babak akhir dari Perang Aceh.

Dalam rangkaian aksi tersebut, Cut Nyak Dhien istri Teuku Cik Ditiro, yang melanjutkan perlawanan gerilya suaminya terhadap Belanda akhirnya tertangkap dan kemudian diasingkan ke Sumedang Jawa Barat, hingga wafat di Sumedang pada 6 November 1908.

Cut Nyak Dhien (Anum.), dinobatkan menjadi Pahlawan Nasional Indonesia secara anumerta oleh Presiden Sukarno pada tanggal 2 Mei 1964. Anumerta adalah nama kehormatan yang dianugerahkan kepada keluarga istana, bangsawan, dan kadang-kadang orang lain dari negara.

Anumerta juga sebutan bagi seseorang sebagai penghargaan tertinggi setelah yang bersangkutan meninggal dunia atas jasa-jasa sangat besar yang telah dilakukan seseorang demi untuk rakyat dan negara.

Pembantaian rakyat Aceh oleh Belanda di desa terpencil di Kuto Reh, Aceh pada tahun 1904.

Meskipun wanita pejuang Cut Nyak Dien dari Tanah Rencong, sebagai pimpinan rakyat semesta Aceh terakhir telah ditangkap, tetapi para pejuang dan rakyat Aceh di kala itu tak tinggal diam.

Mereka terus melakukan perlawanan terhadap Belanda kendati dalam skala yang lebih kecil. Perlawanan seporadis rakyat Aceh itu berlangsung terus dan terus, bahkan hingga Belanda menyerah kepada Jepang pada tahun 1942.

Berbeda dengan kasus Westerling dan sejumlah luka sejarah lainnya, hingga saat ini pihak Belanda belum pernah meminta maaf secara resmi terkait pembantaian yang terjadi di pedalaman Serambi Mekkah yang berlangsung selama 3 bulan di tahun 1904 tersebut.

Data-data korban diatas juga baru berasal dari laporan beberapa saksi mata, hanya perkiraan dan tanpa penghitungan yang sangat akurat. Itu pun laporan dan catatan dari beberapa desa saja. Jadi sangat mungkin, bahwa korban-korban pembantaian dalam peristiwa genosida ini jumlanya jauh lebih besar dari perkiraan, bahkan lebih besar dari pikiran kita.

Istri Teuku Umar, Cut Nyak Dhien (duduk ditengah) berada di pengasingan setelah ditangkap oleh pejabat Hindia Belanda. Pada tanggal 2 Mei 1964, Cut Nyak Dhien diberi gelar sebagai Pahlawan Nasional Indonesia secara anumerta oleh Presiden Sukarno. (pict: Troppen Museum)

Semua kisah pahlawan-pahlawan asal Aceh memang sangat patrotik. Aceh adalah salah satu “pabrik” para pahlawan-pahlawan nasional yang sangat gagah berani. Tak hanya pahlawan pria, namun Tanah Aceh juga sebagai “pabrik” tempat lahirnya pejuang-pejuang wanita yang tak kalah gagah beraninya dengan kaum pria, semua kisah mereka sangat hiroik, membanggakan dan sangat menakjubkan.

Semoga semua kisah ini dapat memperluas wawasan kita tentang nasionalisme dan patrotisme, dan semua korban kekejaman perang berikut para pahlawan-pahlawan yang mempertahankan tanah airnya, wafat secara khusnul khotimah dan mendapat gelar syhuhada. Aamin ya rabbal amin.

(IndoCropCircles.com / Ibrahim Alfian, Wajah Aceh dalam Lintasan Sejarah, 1999:229 / Dien Madjid, Catatan Pinggir Sejarah Aceh, 2014:280 / Deli Courant-1940 / Dien Madjid, 2014: 282 / Snouck Hurgronje, Het Gajolan en Zijn Bewoners / J.C.J. Kempees, De tocht van Overste van Daalen door de Gajo, Alas-en Bataklanden – 1904)

Pustaka:

Foto setelah aksi pembantaian di Aceh atau Acehnese Genosida oleh Belanda di Kuto Reh, Aceh, pada 1904 yang diperkirakan menewaskan sekitar 4.000 orang pria, wanita, baik tua atau muda dan juga anak-anak.

Prajurit Atceh berfoto dengan pedang dan belati, foto diambil tahun 1897.

Pejuang Aceh berfoto, diambil sekitar tahun 1910-an.

Pejuang Aceh berfoto, diambil sekitar tahun 1912.

Pejuang Aceh dari etnis Alas berfoto, diambil sekitar tahun 1920-an.

Pejuang Aceh berfoto, diambil sekitar tahun 1930-an.

Bangsawan Aceh foto bersama tentara Belanda dan istrinya, mereka berfoto beserta ibu, saudara wanita dan istri dari Panglima Polim Aceh.

Dihukum kerja paksa. Anak-anak dan orang dewasa dari Jawa dirantai dan dikerahkan oleh Belanda dalam Perang Aceh (1873 – 1904). Sebanyak 22.000 anak laki-laki meninggal dalam perbudakan ini dan kebanyakan dari Pulau Jawa.

 

Artikel Lainnya:

[Project Seal] Tsunami Aceh Sumatra 2004: Bom Nuklir Bawah Laut

Ditemukan: Gua Yang Mengungkap Sejarah Tsunami di Aceh

Kisah Mistis Ditemukannya 2 Pedang Emas Era VOC di Aceh

Aceh Heboh: Ribuan Koin Emas Era Samudera Pasai Ditemukan!

Misteri “Negeri Ophir” Yang Kaya Emas Dalam Kitab, Apakah Di Sumatera?

Lebih Dari 2000 Tewas: Tsunami Ambon dan Pulau Seram 1674

Pembantaian Glodok” Tahun 1740 (Tragedi Angke / Geger Pacinan)

Tragedi Tanjung Priok 1984: Pembantaian Kaum Muslimin Oleh ABRI

Fenomena Misterius: Pembantaian 8000 Sapi Gemparkan Gedung Putih AS

Ketika Mereka Membunuh Sepuluh Juta Rakyat Afrika, Mereka Tidak Dijuluki ‘Hitler’

Eropa Heboh! Tahun 1935: Pesawat ‘Made In’ Bandung Mendarat Di Belanda!

Inilah Mereka: 17 Orang Asing Yang Bantu Perjuangan Kemerdekaan Indonesia

Ditemukan 2 Meter Dibawah Laut: Benteng VOC Misterius Di Daerah Pasar Ikan Jakarta

Saat Satu Kompi Pasukan Hizbullah Berhasil Tembus Garis Belakang Pertahanan Israel


https://wp.me/p1jIGd-8GH

((( IndoCropCircles.com | fb.com/IndoCropCirclesOfficial )))

[ad_2]

Source link

Sang Pembelajar

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.